30 Hari Bercerita – 12 Januari 2022

Seumur-umur saya baru pernah pacaran 2 kali. Tapi sepanjang umur itu saya sudah banyak pergi kencan dengan berbagai macam pria dengan rentang jarak usia yang beragam juga. Mulai dari kencan yang santai, kencan pertama yang bikin gemeteran dan ketiak basah, kencan yang bikin super malu sampe enggak mau diinget lagi, sampai ke kencan paling menyenangkan dan ideal.


Ketika usia saya di awal 20an, saya sempat dekat sama satu pria yang jarak usianya lebih tua beberapa tahun. Sudah kencan banyak kali dan sering pergi bareng ke sana ke sini. Sudah setahun dekat tapi saya masih tahan dia di area abu-abu. Saya pikir kenapa enggak juga toh dianya enggak maju maju? Wkwk.


Sama-sama sibuk dengan urusan lain selain asmara, suatu malam teman saya meminta untuk berbicara dengan saya di telepon. Saya iyakan dan akhirnya kita ngobrol. Yang berbicara di seberang telepon ini adalah teman baik saya saat itu. Dia cerita kalau pria yang lagi dekat dengan saya lagi ada di rumahnya bareng kakaknya dan mereka lagi sama-sama curhatin perempuan lain.


Singkat cerita saya jadi tahu kalau ternyata bukan cuma saya perempuan yang lagi di-pedekate-in sama cowok ini. Oh, saya hanyalah opsi. Apakah itu jahat? Tergantung. Namun kebetulan saya perempuan egois yang pengin jadi nomor satu dan satu-satunya. Setelah saya tutup telepon dengan teman saya, saya langsung memutuskan bahwa saya hanya akan melihat pria tersebut sebagai manusia lalu lalang biasa. Kebetulan saya paling jago dettached orang buat keluar dari hidup saya.
Apakah itu merupakan keputusan terbaik saya? Saya enggak pernah tahu. Hidup kan rangkaian keputusan demi keputusan yang terus menggumpal dan bertambah. Setiap keputusan itu perjudian yang berani kita ambil dengan berbagai risikonya.


Satu hal yang saya tahu, I know what I want and I know my worth. Dan saya enggak akan ngabisin waktu dan jatah keputusan saya untuk tolerir orang yang tidak menjadikan saya prioritas.


So, thank you. Next! Kalo kata mbak Ariana Grande begitu. 😉✨

N.A.

30 Hari Bercerita – 11 Januari 2022

Sebelum hari ke-11 berganti, mau setor cerita lagi. Mungkin bukan cerita, tapi sedikit perenungan? 🤔


Setiap dari kita berjuang, tapi setiap dari kita punya privilege. Tapi beberapa orang, atau mungkin banyak ya, lebih suka ekstrim kiri (atau kanan?) dengan mikir bahwa merekalah orang yang paling berjuang. Makanya raja podcast Indonesia sampe bikin video marah-marah ya ngemeng sebel liat orang sukses yang ngaku mulai dari nol tanpa sebutin privilege-nya dia apa aja. Sebetulnya keluhan itu udah lama keliling di internet keluar dari orang-orang kritis, bukan hal yang baru. Cuma ya memang masih banyak aja yang terbuai sama cerita sukses anak tukang becak jadi pemenang ajang kontes nyanyi atau tukang parkir jadi trader handal sampe beli lambo kek jajan cilok.


Masalahnya sekarang kalau semua kepingin punya cerita sukses begitu dan harus dikabulin dengan resep: KERJA KERAS, harusnya lebih dari 50% kalian udah ada di titik yang sama kek mereka. Tapi kan kenyataannya enggak? Kasus mereka cuma 1 banding sejuta. Kalau kita semua mikir kita adalah si satu itu, ya jadinya enggak banding sejuta, dong dan jadinya ini common life story aja.


Orang-orang ini punya privilegenya sendiri. Dan mereka enggak mau bagiin bukan karena mereka enggak mau tapi karena penonton enggak suka cerita yang wajar, yang enggak dramatik. Semua harus seperti di film.


Pas nyadar kenyataan ini, banyak yang marah dan mikir enggak adil, jahat, ditipu, kita mah enggak punya privilege. Padahal lagi-lagi enggak gitu. Kita selalu punya privilege yang orang lain enggak punya. Jadi enggak usah playing victim seakan-akan dunia ngutang kebaikan sama kita juga. 


Saya selalu sirik sama anak keluarga kaya yang punya orang tua suportif. Saya pikir hidup mereka pasti mudah dengan privilege begitu. Fokus sama mereka bikin saya pait sampe saya lupa kalau saya juga punya privilege lain yang memudahkan hidup saya dibanding kebanyakan orang.


Intinya mind your own business aja. Enggak usah mikirin hidup orang, baik atau jelek. Tinggalin, balik lagi urusin diri sendiri. Hidup mah urusan sendiri, kok. Ambil yang baik, buang yang buruk.


Selamat berjalan ke dalam.

N.A.

30 Hari Bercerita – 10 Januari 2022

Pandemi melahirkan kebiasaan baru, atau istilah yang mereka buat itu namanya “new normal”. Dulu saya sering ke bioskop. Kalau kencan paling suka ke bioskop terus udahnya ke toko buku terus udahnya kita makan. Gitu doang udah hepi.


Apa aja yang disuguhin di bioskop ditonton. Sampe pernah iseng nonton film Thailand tanpa cek review. Eh, zonk banget. Enggak seru, jayus, garing, random banget pokoknya. 😅 Tapi kita tetep bertahan nonton sampai film selesai.


Sebetulnya semenjak kita mulai langganan Netflix, intensitas ke bioskop jauh berkurang. Tapi ada beberapa film yang rasanya kurang afdol ya kalau enggak nonton di bioskop. Jadi untuk film-film tersebut kita ya tetep melipir ke mall. Nah, begitu memasuki fase pandemi di mana kasus semakin menanjak sampai bioskop ditutup, sempet sih kepikiran, “wah, jadi enggak bisa nonton di layar gwede, dong…”


Satu bulan, dua bulan, eh udah setengah tahun aja. Enggak kenapa-kenapa tuh?


Malah jadi kebiasaan nonton di rumah. Bikin pop corn sendiri, bikin minuman seger sendiri. Lebih hemat juga. 😆 Ternyata bisa ya nonton enggak usah di bioskop.


Kadang kita ketergantungan sama kebiasaan yang bikin nyaman, sampai enggak sadar kalau kebiasaan itu bisa diubah.


Jadi… Kebiasaan apa lagi ya yang berubah gara-gara pandemi? 🤔


PS: Eh, tapi kemarin akhirnya pertama kali ke bioskop lagi buat nonton.. Tetep seru, kok. 😆👍 Ini bukan kampanye anti ke bioskop ya cuma cerita aja. Wkwk. 

N.A.

30 Hari Bercerita – 09 Januari 2022

Kemarin sambil ngabisin kuota yang tersisa banyak tapi mau kena tenggat, diputuskanlah ngabisin dengan nyalain video YouTube di 720p via tethering ke laptop. 😅 Udah dengerin orang rekomen buku-buku sampe ke audio book, akhirnya mampir ke video-video Ted Talks. Setelah beberapa video, nyangkutlah di Ted Talks Susan Cain 9 tahun lalu tentang The Power of Introverts.


Di kolom komentarnya ada yang nulis hal menarik:
“Everyone always tells introverts to speak up and talk more, no one ever tells extroverts to shut up and listen more.” – Unknown


Bener juga, ya? Ternyata selain hidup di dunia yang patriarki, kita juga hidup di dunianya extrovert. Sekitar 1/3 orang di dunia itu introvert, katanya. Denger hal kayak gitu saya jadi mikir semakin tertindas aja saya, ya. Udah mah perempuan, bukan pure breed ras mana pun, kepercayaan bukan mayoritas, ditambah introvert juga. 😅


Pasti bukan cuma saya yang sering merasa jadi orang HARUS punya banyak koneksi, HARUS sering ke luar rumah, HARUS bisa jadi pusat perhatian dan cakap berbicara. Saya di sini cuma mau ngingetin satu hal: dunia udah terlalu berisik. Maybe a day of your listening and keeping your mouth shut is doing a lot for many people. Memang ini bukan hal besar yang orang-orang notice favour-nya. But, hey, we can make the world a better place with it.


You and I are already enough by being our true authentic self. Ada alasannya kita jadi introvert, salah satunya ya supaya kita tidak memaksakan diri untuk jadi ekstrovert. They need us too, anyways.

N.A.

30 Hari Bercerita – 08 Januari 2022

Sebetulnya sebanyak saya suka ada di rumah, sebanyak itu juga saya suka jalan-jalan. Melihat suasana baru, menyerap energi di sana, dan memperhatikan cerita-ceritanya. Salah satu hal yang sebetulnya diam-diam saya sukai adalah datang ke pameran seni atau art museum. Jadi waktu akhir bulan lalu diajak @cbsowl mampir ke pamerannya  Nusae ya tentu mau ikut karena udah lamaaa banget dari terakhir mampir ke pameran begini. 🥲


Tenang saja, saya juga banyak enggak ngertinya, kok setiap melihat pameran. 😅 Tapi saya suka energi dan perasaan yang ditimbulkan kalau saya lagi di sana. Saya bukan siapa-siapa, saya tidak banyak tahu, saya tidak lebih pintar, banyak manusia yang keren, manusia bisa mengejar idealismenya mereka sendiri jika mereka mau… Mungkin itu beberapa hal yang dimunculkan dari kedatangan saya ke pameran seni, biasanya.


Tapi beda dari pergi ke bioskop atau cafe resto atau supermarket, saya belum pernah coba ke pameran seni sendirian. Masih grogi dan takut. Mungkin next time boleh ya challenge diri dengan iseng dateng olangan. 😆


Kalo ada yang punya info pameran menarik terutama di Bandung boleh banget kabarin yaah… 🥰

N.A.

30 Hari Bercerita – 07 Januari 2022

“Hidup kita ya kita tokoh utamanya,” kata orang-orang yang ngajarin self love yang mengingatkan kita untuk memprioritaskan diri sendiri. Pengingat itu baik adanya jika kita hentikan di tengah sebelum bablas.
Soalnya hidup kan perjalanan. Boleh lah berasa jadi Iqbal di MV Yang Terdalam, tapi jangan sampai lupa kalau di perjalanan selalu ada orang lain dan bahkan makhluk lain juga yang berselisih jalan dengan kita atau bahkan ikut jalan bareng. Terus apakah mereka bukan tokoh utama? Di cerita hidup mereka, tentu peran mereka bukan pemeran pembantu atau pengganti.


Kalau lagi gini saya selalu ingat soal inti dari ajaran kitab suci umat Kristiani. Jika Alkitab diperas dan dijus sampai keluar intisarinya, yang keluar adalah ayat yang berkata: “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap akal budimu. Dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”
Cakep, ya?


Pengingat bahwa self love itu bagus hanya ketika kita paham bahwa kasih yang melimpah terhadap diri itu bermula dari Sang Pencipta dan harus berakhir untuk dibagikan kepada yang lain juga.
Jadi, sudah ke mana sajakah kasihmu itu berlabuh?

N.A.

30 Hari Bercerita – 06 Januari 2022

Belakangan saya lagi banyak mikir soal sebuah aksi penting dalam hubungan yaitu saling melindungi.


Menjelang akhir tahun lagi semangat banget, nih cari balance lagi. Makanya langsung kontak @cbsowl bilang besok mau ikut muay thai jadwal bareng dia. Akibat keputusan impulsif, besok paginya pas nunggu di tempat muay thai mulai flashback memikirkan kenapa bisa-bisanya mau muay thai dadakan. 🙃 Ikut 2 kali dua minggu berturut sambil masih ada niatan rutin olahraga keras begini supaya perut bisa 4 pack dan bisa nonjokin orang nyebelin di jalan. *sebuah motivasi dan sikap*


Eh, di malam tahun baru ngobrol serius sama S yang menjadikan rencana rutin olahraga saya harus ambyar karena saya jadi full ngantor dulu untuk menjaga kesehatan mental S dan supaya S visa fokus mengejar yang mau dia kejar. Saya menyesuaikan jadwal dan mengesampingkan hal yang bukan jadi prioritas utama di saat ini untuk melindungi S supaya jalan kehidupannya lebih lancar.


Di sisi lain, saya minta S juga melindungi saya supaya enggak bengek. Caranya adalah dengan dia back up di sisi rumah tangga. Porsi pekerjaan rumah tangga yang dia kerjakan jadi lebih banyak, including belanja kebutuhan rumah. S yang tadinya enggak bisa bedain deterjen dan pelembut akhirnya harus belajar sampai bedain merek, varian, hingga harga.


Buat saya rumah tangga dengan porsi adil bisa tercapai dengan komunikasi yang clear dan negosiasi. Kamu mau A? Saya bisa bantu, tapi kamu harus B. Deal? Salaman, lakukan.
Banyak kondisi rumah berat sebelah. Beban pemasukan di suami, tapi beban sisanya di isteri. Suaminya pikir itu hal yang lumrah, isterinya pikir memang nasib jadi perempuan begini. Padahal enggak gitu.


Bicara, cari solusi, sepakat, kemudian jalanin yang udah disepakati. Kalau di tengah proses ternyata keberatan, ya revisi lagi bikin kesepakatan baru. Gitu aja terus namanya hidup sama orang mah. Saling lindungi, saling rugi, harapannya supaya bisa sama-sama untung suatu hari.

N.A.

30 Hari Bercerita – 05 Januari 2022

Sebelum tinggal bareng S, saya punya kesulitan tidur di malam hari. Pernah suatu malam, saking tersiksanya dengan pikiran dan perasaan sendiri, saya memohon sambil menangis kepada Yang Maha Kuasa untuk memberikan saya seseorang supaya saya tidak tersiksa dengan rasa kesepian yang menggerogoti dari dalam. Tidak lama, Tuhan mengirimkan S kepada saya.


Sejak tinggal sama S, tidur saya nyenyak sekali dan saya jadi banyak banget tidur. Seperti balas dendam untuk kurangnya waktu tidur saya dulu. Dulu itu bahkan kalau saya tidur, ketika bangun saya masih kelelahan. Saya terbangun tiap 30 menit, seperti dikejar-kejar sesuatu rasanya. Saking uda terbiasanya sama hal seperti itu, saya pikir rasa dan pola tidur seperti itu adalah hal yang wajar.


Sekarang setelah saya merasakan nyenyaknya tidur, saya jadi ketakutan lagi. Apa kalau S enggak ada, saya masih bisa tidur dengan nyenyak begini? Kalau enggak, apakah ini tandanya saya menaruh nasib kenyamanan diri saya di tangan orang lain?


Terus pas mikir gitu jadi mikir lagi, lah katanya enggak pengin sendirian? Kan konsekuensi dari hidup dekat dengan manusia lain adalah tumbuhnya rasa saling ketergantungan, ya.
Akhirnya terus aja dipikirin itu perdebatan sama diri sendiri sampai akhirnya S dateng bawain buah potong terus dia nonton TV terus saya ketiduran lagi…

N.A.

30 Hari Bercerita – 04 Januari 2022

Setelah membaca hasil psikotest saya, hal pertama yang psikolog katakan kepada saya adalah: “Kamu kenapa membenci manusia? Coba cerita apa ada masalah?”


Mendenger pertanyaan itu kepala saya penuh dengan berbagai jawaban-jawaban. Riuh rusuh berisik isi kepala dengan penjelasan, tapi yang keluar hanyalah,”Ahaha enggak apa, bu cuma ribet aja urusan sama orang.. Ya enggak, sih?”


Entah apa yang dia baca dari hasil psikotest saya tapi memang saya selalu punya 2 kutub dalam melihat manusia. Yang pertama adalah sudut pandang yang melihat bahwa setiap manusia itu baik dan menyimpan potensi yang sangat besar. Inilah yang membuat saya akhirnya “memaklumi” dan menerima manusia lain. Tapi kutub kedua adalah sudut pandang paling sinis di mana saya melihat manusia hanyalah segumpalan ego yang minta terus disuapi. Hal ini yang sering membuat saya mudah sekali meninggalkan orang lain seakan dia tidak pernah nyata.
Kedua ekstrim itu selalu setiap hari bertarung setiap saya melihat manusia lain.


Iya, mengcapek memang.


Begitulah tapi hidup menjadi introvert mentok. Kepingin coba hidup jadi ekstrovert sehari tapi ngebayanginnya doang aja udah cape sendiri. Jadi ya udah daripada mikirin enaknya hidup jadi orang lain, mending terima aja paketan diri yang sudah bundling ekstra dengan berbagai perjalanannya, ya.

N.A.

30 Hari Bercerita – 03 Januari 2022

Enggak sengaja kemarin tetiba pergi kencan sama S. Dari diem terus ngobrol terus ketemu temen terus ngobrol lagi berdua, kita sempet ngomongin lagi soal mimpi. Kita bahas 3 orang yang kita kenal yang mengorbankan mimpinya untuk keluarga dan agamanya. Mungkin kedua orang itu ngerasa itu hal yang heroik atau keren, tapi buat saya dan S, kita lebih ke kasihan sama mereka.


Kenapa? Soalnya itu mimpi dan panggilan hati bakal terus menghantui mereka. Kalau malam bakal ngetuk-ngetuk lagi. Kalau lihat orang melakukan hal yang selama ini jadi mimpi mereka itu, mimpi di dalam diri mereka bakal teriak-teriak lagi minta keluar ke permukaan untuk kemudian dituntaskan.


Saya membayangkan betapa horornya hidup mereka hari-hari.


Akhir tahun kemarin sempat nonton show-nya Pandji Pragiwaksono via online. Dia ada bilang kalau mimpi itu enggak akan ke mana-mana. Sejauh apapun kita pukul, dia bakal kembali lagi.
Mungkin ini juga yang jadi alasan kenapa saya mau nunggu dan bantu S 10 tahun sampai dia menemukan apa yang dia mau lakukan di hidup. Saya enggak mau dia hidup segan mati tak mau eh pas waktunya meninggal malah penuh penyesalan.


Saya harap tidak pernah ada kata terlambat untuk berbagai mimpi dan panggilan hati kita. Saya juga berharap kita diberikan keberanian untuk akhirnya menyambut dan merangkul mimpi itu untuk kemudian kita kejar. Sehingga jika dulu kita korbankan dia untuk sesuatu, ketika ia muncul lagi kita sudah lebih siap untuk maju.


Awal tahun mungkin saat yang tepat untuk mulai komitmen baru.  Sisipkan waktu lagi untuk mengisi panggilan hati itu. Setiap hari diisi sedikit lebih baik daripada didiamkan saja di gudang, bukan?

N.A.