30 Hari Bercerita – 17 Januari 2022

“Kamu tuh mukanya sedih, ya? Kenapa, sih sedih terus gitu? Senyum, dong.” Ucap seorang pria yang lebih tua satu dekade pada saya ketika saya masih SMA. Apa yang saya harapkan dari seorang pria yang ekstrovert, sanguin, dan kerja di dunia hiburan? Pasti dia tidak suka anak muda yang murung seperti saya.


Namun tetap saja, ucapannya yang tidak seberapa itu begitu menyayat. Sakit sekali. Seperti ada yang mendadak menonjok ulu hati dan mencubitnya di dalam. Perasaan apa ini? Apa tidak cukup kata-kata makian yang saya katakan sendiri setiap malam? Masih harus ditambah lagi dengan orang dewasa ini menyatakan hal yang jelas-jelas sudah saya tahu?


Siapa yang mau bersedih? Tidak ada. Tapi apa yang harus saya lakukan kalau kesedihan selalu berada di atas kepala. Bagai awan mendung yang siap menurunkan hujan. Saya juga merindukan selalu datangnya matahari. Apa yang harus saya lakukan lagi supaya ia datang?
Sakit sekali.


Percuma berharap pada orang dewasa. Kata-kata mereka selalu kosong dan hampa, jika tidak malah menambah luka saja.


Untuk apa jadi dewasa, kalau hanya terus memaksakan kehendak pada yang muda. Tak ada lagi senyum untuk orang ini. Yang ada hanya pahit dari luka yang dia buat sendiri.

N.A.

Leave a Comment