30 Hari Bercerita – 29 Januari 2022

Entah kenapa waktu kecil saya paling takut kalau tiba-tiba ditinggal sendirian. Saya pun ngerasa bahwa tidak ada hal dari diri saya yang layak untuk membuat seseorang bertahan sama saya. Makanya saya selalu berusaha keras untuk mendapatkan kasih sayang. Saya selalu berpikir bahwa perhatian itu tidak bisa didapatkan dengan percuma, saya harus berjuang untuk mendapatkannya.

Makanya dari kecil saya banyak mengumpulkan trofi-trofi kecil. Saya harus jadi juaras kelas, nilai saya harus bagus, saya harus jadi 10 besar, saya harus pintar menggambar dan menyanyi dan menari dan main musik juga, saya harus selalu terlihat cantik dan bersih dan wangi, saya harus punya banyak teman dan pandai bergaul, saya harus sopan pada guru dan orang tua lain dan saudara semua, saya harus selalu sehat dan kuat dan bugar. Serta masih banyak lagi beban yang saya taruh di pundak saya sejak saya kecil.

Makanya waktu kelas 1 SD ketika saya biasa dapat nilai 100 terus dapat 90, saya nangis di kelas. Makanya ketika kelas 4 SD mata saya buram jauh, saya tidak berani cerita padahal semua sudah buram. Makanya ketika saya kehilangan orang tua saya di tengah kerumunan, saya menangis histeris karena saya pikir saya anak yang pantas ditinggalkan seperti ini.

Tersiksa dengan pikiran sendiri selama puluhan tahun sangat merusak. Syukurnya saya mulai belajar proses demi proses, selangkah demi selangkah, belajar menyadari bahwa tidak ada yang salah pada saya.

Tidak ada yang salah kalau saya tidak pintar bergaul, saya tidak harus disukai semua orang. Tidak ada yang salah dengan saya punya fisik yang pada dasarnya sakit-sakitan, saya bisa berusaha memperbaikinya. Tidak ada yang salah dengan menjadi anak yang tidak pintar, saya tidak harus jadi prodigy jenius kalau memang otak saya tidak sampai ke sana. Tidak ada yang salah dengan menjadi anak yang tidak multitalenta, saya bisa berusaha fokus pada 1 kebisaan.

Ketika saya mati-matian mengejar kasih sayang, justru saya tidak dapat. Tapi ketika saya belajar memberi kasih sayang untuk diri saya sendiri, di situlah saya sadar bahwa semuanya sudah cukup.