30 Hari Bercerita – 06 Januari 2023

Kuku patah.

Waktu masih kecil aku punya kebiasaan mengigit kuku dan memakan rambutku sendiri. Tidak banyak yang tahu dan tidak banyak yang menyadarinya. Menyadari itu kebiasaan buruk, memasuki masa puber, aku berusaha berhenti melakukannya.

Beberapa bulan lalu aku memperhatikan kukuku lagi dan berpikir: sudah tidak digigit tapi masih aja jelek, tipis, dan tidak sehat. Mulailah aku merawat kuku bahkan akhirnya mencoba dikutek biar lebih tebal supaya kuat.

Hari ini, beberapa kukuku sudah patah-patah lagi. Bahkan ada yang patahannya besar sekali aku harus menyobeknya sendiri.

Hari ini kukuku patah. Tapi ya sudah. Kubiarkan saja. Besok-besok tumbuh lagi.

30 Hari Bercerita – 20 Januari 2022

Bulu mata rontok.

Banyak perempuan panik kalau ini terjadi takut bulu mata yang memperindah matanya jadi botak. Banyak laki-laki cuek tapi bercanda dengan mitos kalau bulu mata rontok tandanya ada yang rindu.

Padahal ya cuma bulu mata rontok aja ya. Di-huh terbang terus ya udah.

Membuktikan bahwa suatu kejadian selalu netral. Yang membedakan adalah cara pandang dan respon.

Semoga kita selalu diberi kekuatan untuk bisa melihat suatu kejadian dari sudut pandang yang lebih luas dan objektif lagi.

30 Hari Bercerita – 18 Januari 2022

Cerita hari ini sederhana aja.


Tidur nyenyak,
bangun pagi segar,
senang karena masalah yang belakangan menghantui mulai menemukan titik cerah,
excited karena memulai hal yang baru,
gerah karena banyak deadline,
khawatir karena saham merah terus Januari ini padahal laptop S baru upgrade pake uang tabungan buat trading saham,
hangat mengingat anak-anak di rumah sehat-sehat,
masih capek karena kondisi fisik dan mental yang masih di ambang keambyaran.


Jadi kalau ditanya apa kabarnya hari ini? Ya baik-baik aja. ✨
Manusia mah gitu.

N.A.

30 Hari Bercerita – 17 Januari 2022

“Kamu tuh mukanya sedih, ya? Kenapa, sih sedih terus gitu? Senyum, dong.” Ucap seorang pria yang lebih tua satu dekade pada saya ketika saya masih SMA. Apa yang saya harapkan dari seorang pria yang ekstrovert, sanguin, dan kerja di dunia hiburan? Pasti dia tidak suka anak muda yang murung seperti saya.


Namun tetap saja, ucapannya yang tidak seberapa itu begitu menyayat. Sakit sekali. Seperti ada yang mendadak menonjok ulu hati dan mencubitnya di dalam. Perasaan apa ini? Apa tidak cukup kata-kata makian yang saya katakan sendiri setiap malam? Masih harus ditambah lagi dengan orang dewasa ini menyatakan hal yang jelas-jelas sudah saya tahu?


Siapa yang mau bersedih? Tidak ada. Tapi apa yang harus saya lakukan kalau kesedihan selalu berada di atas kepala. Bagai awan mendung yang siap menurunkan hujan. Saya juga merindukan selalu datangnya matahari. Apa yang harus saya lakukan lagi supaya ia datang?
Sakit sekali.


Percuma berharap pada orang dewasa. Kata-kata mereka selalu kosong dan hampa, jika tidak malah menambah luka saja.


Untuk apa jadi dewasa, kalau hanya terus memaksakan kehendak pada yang muda. Tak ada lagi senyum untuk orang ini. Yang ada hanya pahit dari luka yang dia buat sendiri.

N.A.

30 Hari Bercerita – 16 Januari 2022

Manusia pada hakekatnya pasti berubah. Prinsip itu berlaku juga untuk idola yang kita puja-puja maupun influencer yang awalnya kita follow karena sepemahaman.


Beberapa tahun lalu saya sempat follow akun Instagram seorang perempuan muda. Saya tertarik karena banyak pemikirannya yang kritis dan pintar. Dia pun suka membaca buku-buku yang saya tidak paham isinya apa. Dia juga aktivis feminisme dan vegan. Pokoknya tipikal sun sign Aquarius yang edgy dan beda gitu lah. 😆


Setelah ngikutin dia di Instagram, saya melihatlah perubahan drastis dari dia. Mulai dari jadi vegan murtad yang kembali makan daging, kemudian bertemulah dia dengan sosok pangeran berkuda putihnya. Pacaran deh dia. Akhirnya isi IGnya sekarang serba foto selfie seksi dan foto bucinnya bareng pacarnya. 😅


Apakah saya kecewa? Enggak. Saya masih follow, kok. Menarik justru bisa jadi saksi bagaimana seseorang berevolusi dari a ke b ke c. Dari awal saya follow saya tidak berekspektasi dan tidak berharap. Saya melihatnya sebagai entitas manusia yang punya kemauan dan kebebasan sendiri akan akun media sosialnya. Bukannya justru itu yang menarik?


Tapi banyak orang menuntut. Dia harus a dia harus b, dia tidak boleh berubah, kalaupun berubah harus ke arah yang sesuai kepuasan saya.
Jadi sejak kapan orang-orang ini kamu penjara dengan ekspektasimu sendiri?


Coba kita sekeras itu sama diri sendiri, mungkin kita tidak perlu memproyeksikan isu kita ke orang yang tidak kita kenal dan tidak mengenal kita seperti itu.

N.A.

30 Hari Bercerita – 13 Januari 2022

“Uang tidak bisa membeli kebahagiaan, tapi dengan uang minimal kesusahan kita berkurang.”


“Lebih baik nangis di dalam lamborghini daripada nangis di atas motor beat.”


Itulah beberapa ucapan orang ketika denger kalimat motivasi yang bilang soal jangan mikirin duit. Makanya memang hari-hari ini banyak orang lebih percaya diri ya untuk ngaku kalau mereka suka dan cinta uang. 😆


Untuk saya pribadi masih di dalam posisi kegalauan dalam melihat uang. Sempat ada di posisi idealis banget, tapi dulu memang kondisi saya cukup nyaman. Ketika dikasih pressure, saya sempat jadi ada di posisi yang ngejer uang banget.


Cuma jujur deh kerja ngejer uang doang itu super exhausting. Mengcapek mengbengeks.


Akhirnya kembalilah saya di posisi bingung. Jadi kejer uang dulu, atau kejer kebahagiaan dulu? Akhir tahun lalu saya sempat bertemu orang idealis yang bilang jatah rejeki setiap orang sudah diatur Tuhan. Selama kita kerja, kita pasti dikasih aja jalannya buat dapet rejeki tersebut.
Mungkin akhirnya, sih saya cuma harus cari titik balance-nya aja ya? Pasti susah. Untungnya saya diketemukan aja sama ucapan, tulisan, maupun manusia lain yang bisa ngingetin supaya enggak terlalu ekstrim idealis maupun ekstrim realistis.


Jangan cuan cuan cuan banget tapi jangan passion dream yolo banget juga yah. 🤣 Everything in moderation gitu bahasa kerennya.

N.A.

30 Hari Bercerita – 12 Januari 2022

Seumur-umur saya baru pernah pacaran 2 kali. Tapi sepanjang umur itu saya sudah banyak pergi kencan dengan berbagai macam pria dengan rentang jarak usia yang beragam juga. Mulai dari kencan yang santai, kencan pertama yang bikin gemeteran dan ketiak basah, kencan yang bikin super malu sampe enggak mau diinget lagi, sampai ke kencan paling menyenangkan dan ideal.


Ketika usia saya di awal 20an, saya sempat dekat sama satu pria yang jarak usianya lebih tua beberapa tahun. Sudah kencan banyak kali dan sering pergi bareng ke sana ke sini. Sudah setahun dekat tapi saya masih tahan dia di area abu-abu. Saya pikir kenapa enggak juga toh dianya enggak maju maju? Wkwk.


Sama-sama sibuk dengan urusan lain selain asmara, suatu malam teman saya meminta untuk berbicara dengan saya di telepon. Saya iyakan dan akhirnya kita ngobrol. Yang berbicara di seberang telepon ini adalah teman baik saya saat itu. Dia cerita kalau pria yang lagi dekat dengan saya lagi ada di rumahnya bareng kakaknya dan mereka lagi sama-sama curhatin perempuan lain.


Singkat cerita saya jadi tahu kalau ternyata bukan cuma saya perempuan yang lagi di-pedekate-in sama cowok ini. Oh, saya hanyalah opsi. Apakah itu jahat? Tergantung. Namun kebetulan saya perempuan egois yang pengin jadi nomor satu dan satu-satunya. Setelah saya tutup telepon dengan teman saya, saya langsung memutuskan bahwa saya hanya akan melihat pria tersebut sebagai manusia lalu lalang biasa. Kebetulan saya paling jago dettached orang buat keluar dari hidup saya.
Apakah itu merupakan keputusan terbaik saya? Saya enggak pernah tahu. Hidup kan rangkaian keputusan demi keputusan yang terus menggumpal dan bertambah. Setiap keputusan itu perjudian yang berani kita ambil dengan berbagai risikonya.


Satu hal yang saya tahu, I know what I want and I know my worth. Dan saya enggak akan ngabisin waktu dan jatah keputusan saya untuk tolerir orang yang tidak menjadikan saya prioritas.


So, thank you. Next! Kalo kata mbak Ariana Grande begitu. 😉✨

N.A.

30 Hari Bercerita – 11 Januari 2022

Sebelum hari ke-11 berganti, mau setor cerita lagi. Mungkin bukan cerita, tapi sedikit perenungan? 🤔


Setiap dari kita berjuang, tapi setiap dari kita punya privilege. Tapi beberapa orang, atau mungkin banyak ya, lebih suka ekstrim kiri (atau kanan?) dengan mikir bahwa merekalah orang yang paling berjuang. Makanya raja podcast Indonesia sampe bikin video marah-marah ya ngemeng sebel liat orang sukses yang ngaku mulai dari nol tanpa sebutin privilege-nya dia apa aja. Sebetulnya keluhan itu udah lama keliling di internet keluar dari orang-orang kritis, bukan hal yang baru. Cuma ya memang masih banyak aja yang terbuai sama cerita sukses anak tukang becak jadi pemenang ajang kontes nyanyi atau tukang parkir jadi trader handal sampe beli lambo kek jajan cilok.


Masalahnya sekarang kalau semua kepingin punya cerita sukses begitu dan harus dikabulin dengan resep: KERJA KERAS, harusnya lebih dari 50% kalian udah ada di titik yang sama kek mereka. Tapi kan kenyataannya enggak? Kasus mereka cuma 1 banding sejuta. Kalau kita semua mikir kita adalah si satu itu, ya jadinya enggak banding sejuta, dong dan jadinya ini common life story aja.


Orang-orang ini punya privilegenya sendiri. Dan mereka enggak mau bagiin bukan karena mereka enggak mau tapi karena penonton enggak suka cerita yang wajar, yang enggak dramatik. Semua harus seperti di film.


Pas nyadar kenyataan ini, banyak yang marah dan mikir enggak adil, jahat, ditipu, kita mah enggak punya privilege. Padahal lagi-lagi enggak gitu. Kita selalu punya privilege yang orang lain enggak punya. Jadi enggak usah playing victim seakan-akan dunia ngutang kebaikan sama kita juga. 


Saya selalu sirik sama anak keluarga kaya yang punya orang tua suportif. Saya pikir hidup mereka pasti mudah dengan privilege begitu. Fokus sama mereka bikin saya pait sampe saya lupa kalau saya juga punya privilege lain yang memudahkan hidup saya dibanding kebanyakan orang.


Intinya mind your own business aja. Enggak usah mikirin hidup orang, baik atau jelek. Tinggalin, balik lagi urusin diri sendiri. Hidup mah urusan sendiri, kok. Ambil yang baik, buang yang buruk.


Selamat berjalan ke dalam.

N.A.

30 Hari Bercerita – 10 Januari 2022

Pandemi melahirkan kebiasaan baru, atau istilah yang mereka buat itu namanya “new normal”. Dulu saya sering ke bioskop. Kalau kencan paling suka ke bioskop terus udahnya ke toko buku terus udahnya kita makan. Gitu doang udah hepi.


Apa aja yang disuguhin di bioskop ditonton. Sampe pernah iseng nonton film Thailand tanpa cek review. Eh, zonk banget. Enggak seru, jayus, garing, random banget pokoknya. 😅 Tapi kita tetep bertahan nonton sampai film selesai.


Sebetulnya semenjak kita mulai langganan Netflix, intensitas ke bioskop jauh berkurang. Tapi ada beberapa film yang rasanya kurang afdol ya kalau enggak nonton di bioskop. Jadi untuk film-film tersebut kita ya tetep melipir ke mall. Nah, begitu memasuki fase pandemi di mana kasus semakin menanjak sampai bioskop ditutup, sempet sih kepikiran, “wah, jadi enggak bisa nonton di layar gwede, dong…”


Satu bulan, dua bulan, eh udah setengah tahun aja. Enggak kenapa-kenapa tuh?


Malah jadi kebiasaan nonton di rumah. Bikin pop corn sendiri, bikin minuman seger sendiri. Lebih hemat juga. 😆 Ternyata bisa ya nonton enggak usah di bioskop.


Kadang kita ketergantungan sama kebiasaan yang bikin nyaman, sampai enggak sadar kalau kebiasaan itu bisa diubah.


Jadi… Kebiasaan apa lagi ya yang berubah gara-gara pandemi? 🤔


PS: Eh, tapi kemarin akhirnya pertama kali ke bioskop lagi buat nonton.. Tetep seru, kok. 😆👍 Ini bukan kampanye anti ke bioskop ya cuma cerita aja. Wkwk. 

N.A.

30 Hari Bercerita – 09 Januari 2022

Kemarin sambil ngabisin kuota yang tersisa banyak tapi mau kena tenggat, diputuskanlah ngabisin dengan nyalain video YouTube di 720p via tethering ke laptop. 😅 Udah dengerin orang rekomen buku-buku sampe ke audio book, akhirnya mampir ke video-video Ted Talks. Setelah beberapa video, nyangkutlah di Ted Talks Susan Cain 9 tahun lalu tentang The Power of Introverts.


Di kolom komentarnya ada yang nulis hal menarik:
“Everyone always tells introverts to speak up and talk more, no one ever tells extroverts to shut up and listen more.” – Unknown


Bener juga, ya? Ternyata selain hidup di dunia yang patriarki, kita juga hidup di dunianya extrovert. Sekitar 1/3 orang di dunia itu introvert, katanya. Denger hal kayak gitu saya jadi mikir semakin tertindas aja saya, ya. Udah mah perempuan, bukan pure breed ras mana pun, kepercayaan bukan mayoritas, ditambah introvert juga. 😅


Pasti bukan cuma saya yang sering merasa jadi orang HARUS punya banyak koneksi, HARUS sering ke luar rumah, HARUS bisa jadi pusat perhatian dan cakap berbicara. Saya di sini cuma mau ngingetin satu hal: dunia udah terlalu berisik. Maybe a day of your listening and keeping your mouth shut is doing a lot for many people. Memang ini bukan hal besar yang orang-orang notice favour-nya. But, hey, we can make the world a better place with it.


You and I are already enough by being our true authentic self. Ada alasannya kita jadi introvert, salah satunya ya supaya kita tidak memaksakan diri untuk jadi ekstrovert. They need us too, anyways.

N.A.